Powered By Blogger

Senin, 12 April 2010

Derajat Manusia

Bagaimana kita memandang derajat seorang manusia? Apakah dari kekayaannya, ataukah dari pangkatnya, atau jabatannya, atau kedudukan sosialnya di tengah masyarakat? Tanpa kita sadari, mungkin kita sering memandang derajat seseorang berdasarkan hal-hal di atas. Sering kita bersikap hormat pada orang yang tinggi jabatannya, atau tinggi pangkatnya, atau tinggi pendidikannya, sementara kepada orang yang rendah pendidikannya, kekurangan dalam segi ekonomi, atau tidak punya status sosial di masyarakat, kita bersikap kurang hormat.

Padahal, buat seorang muslim, ”Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah yang paling bertakwa” (Q.S. 49:13) . Jadi ternyata Allah punya ukuran tersendiri tentang derajat kemuliaan seorang manusia. Dan apa yang dimaksud dengan takwa?
# Shalat/ibadahnya tekun dan khusyu
# Menjaga setiap janji dan amanat
# Menjaga kehormatan diri
# Akhlaknya baik terhadap semua orang- Banyak beramal saleh
# Dll (hal-hal yang lebih berkaitan dengan nilai-2 spiritual)

Ini mengimplikasikan bahwa kekayaan, jabatan, pangkat, dsb. yang diberikan oleh manusia tidaklah menjamin kemuliaannya di sisi Allah. Seorang abang penarik becak mungkin lebih mulia (di sisi Allah) daripada seorang pejabat tinggi yang suka korupsi. Seorang polisi berpangkat rendah yang jujur mungkin lebih mulia daripada seorang jenderal yang suka mengambil hak orang lain. Seorang guru di sekolah dasar di desa terpencil mungkin lebih mulia daripada seorang guru besar yang melakukan plagiarisme. Memang idealnya adalah, seseorang yang sukses secara duniawi, dan dia bertakwa pula. Jenderal yang saleh, guru besar yang saleh, pejabat tinggi yang saleh. Untuk orang-orang seperti itu, jabatan, kekayaan, dan pangkatnya menjadi sarana untuk beribadah lebih banyak, beramal saleh lebih banyak, berderma lebih banyak. Namun tidak semua orang diberi rezeki dan kesempatan untuk bisa mencapai tingkatan tinggi seperti itu.

Kita sering memandang dengan sebelah mata orang-orang yang –katakanlah- kurang dalam pandangan manusia: rendah pendidikannya, kekurangan dalam segi ekonomi, pangkatnya rendah di pekerjaan, dll. Kita jarang mencoba melihat aspek-aspek kemanusiaan dirinya: kejujurannya, semangatnya, pengorbanannya untuk keluarga, kecintaannya pada pekerjaan, dll. Hal-hal itu memang sulit diukur, tapi justru itulah mungkin yang menjadi standar kemuliaan seseorang di sisi-Nya. Sebaliknya, pangkat, jabatan, kekayaan, seringkali bukanlah hasil murni usaha seseorang, melainkan merupakan hasil dari campur tangan dan bantuan dari orang lain. Misalnya, seseorang menjadi kaya tak lepas dari bantuan orang lain: pegawainya, rekanan kerjanya, konsumen perusahaannya, dll. Bahkan orang miskin pun turut menyumbang status dia sebagai orang kaya (kalau gak ada orang miskin, gak ada orang yang disebut kaya).

Tapi kita seringkali lupa dengan kenyataan itu, dan memandang bahwa derajat tersebut dicapai dari hasil kerja kerasnya sendiri. Orang pun menjadi miskin ataupun pendidikannya rendah seringkali bukan karena kekurangmampuannya. Banyak faktor luar yang menyebabkan dia menjadi miskin atau berpendidikan rendah, misalnya karena orang tua yang tidak mampu menyekolahkan dll. Selayaknyalah kita memandang orang lain berdasarkan karakternya. Memang ini akan terasa sulit. Tapi mungkin itu di situ pula-lah nilai kejujuran kita, kemampuan menilai orang bukan dari hal-hal yang ada di permukaan, melainkan lebih kepada nilai hakikinya, sisi-sisi kemanusiaannya.
Wallahu a’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar